Wednesday, July 24, 2013

Kebangkitan Brand Indonesia melawan Dominasi Brand Asing

Brand is the oxygen of your business. Begitu Dave Aaker pernah menulis dalam masterpiecenya yang berjudul “Managing Brand Equity”. Faktanya, brand atau merk merupakan roh yang amat krusial untuk menentukan apakah sebuah bisnis layak melejit, atau lebh layak masuk got.

Tanpa brand, sebuah produk bisa jatuh hanya menjadi komoditi. Tanpa brand, produk tak akan memiliki diferensiasi. Tanpa brand, produk tak akan pernah dikenang menjadi legenda.

Sialnya, brand-brand yang menelusup di sekujur tubuh kita acapkali berasal dari luar negeri. Brand asing terasa begitu cerdik merasuk dalam raga kita. Membujuk. Merayu. Dan terus menggoda.

Tak usah jauh-jauh : tengok kamar mandi Anda. Ada Pepsodent. Ada Clear. Ada Lux. Ada Lifebouy. Kita tahu, semua produk ini adalah brand asing.

Lebih dekat lagi : rogoh saku celana Anda. Maka yang muncul adalah Samsung, atau BlackBerry, atau iPhone. Didalamya ada aplikasi Google dan Twitter. Semua brand asing juga.

Di jalanan, Yamaha dan Honda terus meliuk-liuk. Dan disudut jalanan neon terang menampilkan logo Starbucks, McD, atau Seven Eleven. Brand asing terasa begitu intim hadir dalam jiwa kita. Tsaah.

Jangan-jangan celana dalam Anda merek asing juga. Beha istri atau pacar Anda juga memakai brand asing. Begitu mendalam penetrasi brand luar negeri dalam kehidupan kita.

Dilatara oleh fakta itu, rekan saya Yuswohady, salah satu pakar marketing visioner di negeri ini, meluncurkan buku terbarunya bertajuk : Beat the Giant – Strategi Merk Indonesia Menandingi Merk Global dan Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri.

Dalam buku itu, secara memikat Yuswohady mendedahkan beragam strategi yang layak diracik agar brand-brand lokal bisa membangun brand yang legendaris dan punya reputasi kinclong.

Menurut dia, setidaknya ada empat tipe strategi local brands yang bisa di besut untuk menandingi dominasi brand luar negeri di negeri Indonesia. Dalam tulisan di blog ini, kita mau ulik dua diantaranya (kalau mau lengkap ya beli bukunya dong).

Strategi # 1 : National Champion atau brand lokal yang memiliki keunikan lokal, sekaligus memiliki kapasitas setara dengan global best practices.

Brand lokal yang sudah mapan seperti BRI, Teh Botol Sosro, Hotel Santika, dan Femina ada di posisi ini. Merek-merek lokal di posisi ini paling siap dalam menghadapi merek global secara head-to-head dengan cara membangun local differentiation.

Hotel Santika misalnya, membangun keunggulan lokal melawan hotel-chain asing dengan mengembangkan konsep layanan Indonesia hospitality yang berbasis pada kearifan lokal (local wisdom) Indonesia.

Strategi # 2 : Global Chaser. Ini adalah pemain lokal yang by-default tidak memiliki keunikan lokal, tapi memiliki kapasitas modal, SDM, manajemen, dan teknologi yang sejajar dengan merek-merek global.

Pemain-pemain lokal seperti Polygon, Telkom, Pertamina Pelumas, Mayora, Indofood, Semen Gresik, Bank Mandiri ada di posisi ini.

Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah terus mengejar kapasitas global best practices dan kalau perlu membangun daya saing dengan masuk ke pasar-pasar regional/global.

Global chaser seperti Polygon, Indofood, Pertamina Pelumas misalnya, mulai agresif membangun daya saing dengan memasuki pasar Asia, Eropa, dan Amerika. Strategi generik pemain di posisi ini adalah: EXPAND to Global Market.

Tak pelak buku Beat the Giant ini merupakan bekal yang berharga bagi para pelaku bisnis untuk tekun merawat dan membangun strong brands.

Kita tahu, Indonesia akan jadi kekuatan ekonomi no 7 dunia di thn 2030. Itulah kenapa brand-brand luar negeri begitu masif menyerbu setiap sudut negeri ini. Yang kadang muncul adalah fenomena “Brand Invasion and Brand Colonization”.

Brand-brand lokal pada akhirnya mungkin kudu terus bangkit dan “melawan”. Sebab pertempuran modern saat ini dalam era bisnis adalah “war on branding”.

Sumber : http://strategimanajemen.net/2013/05/20/kebangkitan-brand-indonesia-melawan-dominasi-brand-asing/

No comments:

Post a Comment